LIRRIJAALI NASHIIBUN MIMMAA IHTASABUU WALINNISAAI NASHIIBUN MIMMAA IKTASABNA Yang dimaksud adalah pahala yang diberikan Allah SWT kepada kaum lelaki karena menunaikan jihad. Sedangkan pahala yang diberikan Allah SWT kepada kaum perempuan adalah lantaran mereka memelihara kemaluannya dan mentaati Allah SWT serta mentaati suaminya. Pahala kaum lelaki dan perempuan di akhirat kelak kedudukannya sama. Yang demikian karena, perbuatan baik itu dilipatgandakan pahalanya hingga sepuluh kali lipat. Baik hal itu berlaku bagi kaum lelaki maupun perempuan. Keutamaan kaum lelaki atas kaum perempuan hanyalah sebatas masa di dunia. Demikian menurut penafsiran Asy Syarbini didalam Tafsirnya. Iman Ali Ra mengatakan, “Seburuk-buruk sifat bagi kaum laki-laki itu adalah sebaik-baik sifat bagi kaum perempuan yaitu kikir dan bersikap keras dan takut. Karena sesungguhnya perempuan itu jika kikir, maka ia memelihara harta suaminya dan jika bersikap keras, maka ia menjaga diri dari berbicara kepada setiap orang dengan perkataan yang halus (mesra) yang menimbulkan sangkaan yang buruk, dan jika penakut, maka ia takut dari segala sesuatu, oleh karena itu ia tidak berani keluar dari rumahnya dan ia menjauhi tempat-tempat yang menimbulkan kecurigaan yang buruk karena takut kepada suaminya.” Nabi Dawud AS mengatakan, “Istri yang berakhlak buruk bagi seorang suami, kalau dimisalkan adalah bagaikan orangtua renta yang memikul beban berat. Sedang istri yang solehah bagi seorang suami bagaikan mahkota yang dilapisi emas. Manakala suami memandangnya, maka membuat ketenangan.” Hendaknya suami memberi pengertian kepada istrinya bahwa, sesungguhnya keberadaan istrinya tidak lebih bagaikan hamba sahaya (budak) dimata tuannya. Atau bagaikan tawanan yang tidak berdaya karena itu istri tidak berhak mempergunakan harta-harta suaminya kecuali memperoleh izinnya. Setelah mengetahui sapaanku, ia bersyair, “Demi Allah sesungguhnya aku mempunyai seorang kawan yang akrab yang tidak dapat kutinggalkan sewaktu-waktu aku bercengkerama bersama dirimu Al Ashmu’i melanjutkan, sekarang aku tahu bahwa, perempuan itu ternyata seorang istri yang solehah. Ia mempunyai suami dimana ia selalu berhias untuk menyenangkan dirinya.” Selanjutnya, seorang istri hendaknya menjauhkan diri dari sikap berkhianat terhadap suami. Baik berkhianat ketika ditinggal suami, saat di tempat tidur atau berkhianat pada hartanya. LAA YAHILLU LAHAA AN TUTH’IMA MIN BAITIHI ILLAA BIIDZNIHI ILLAA ARROTHBA MINATHTHO’AAMI ALLADZII YAKHOOPU FASAADUHU FAIN ATH’AMAT ‘AN RIDHOOHU KAANA LAHAA MITSLA AJRIHI WAIN ATH’AMAT BIGHOIRI IDZNIHI KAANA LAHULAJRU WA’ALAIHALWIZRU Seorang istri juga harus menghormati keluarga suaminya, kerabat-kerabatnya kendati hanya dengan ucapan. Hendaknya istri dapat menempatkan dirinya dalam memandang perkara yang sedikit yang dimiliki suami sebagai perkara yang banyak. Tidak menolak jika diajak tidur bersama, kendati saat itu ia sedang berkendaraan.
“Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi mereka perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.”Kedudukan Kaum Istri
Bahkan menurut pendapat mayoritas Ulama bahwa, seorang istri tidak boleh mempergunakan hartanya juga sekalipun harta itu mutlak miliknya sendiri, kecuali telah mendapat restu suami. Sebab kedudukan Istri itu seperti orang yang menanggung hutang banyak yang harus membatasi penggunaan hartanya.
Selain itu telah kewajiban bagi kaum istri supaya memiliki sikap pemalu terhadap suaminya sepanjang waktu. Tidak banyak membantah perkataan suami. Merendahkan pandangannya dihadapan suami. Mentaati perintah-perintahnya, dan siap mendengarkan kata-kata yang diucapkan suaminya. Menyongsong kedatangan suami dan mengantarkannya ketika hendak keluar rumah. Menampakkan rasa cinta dan bergembira dihadapannya. Menyerahkan dirinya secara penuh disisi suaminya ketika di tempat tidur.
Termasuk perkara penting yang perlu mendapat perhatian kaum istri adalah, hendaknya selalu memperhatikan kebersihan mulutnya, baik dengan cara digosok dalam berbagai waktu, menggunakan misik atau wewangian lain. Membersihkan pakaian, selalu bersolek dihadapan suami sebaliknya tidak berhias jika suami sedang pergi.
Al Ashmu’i menceritakan pengalamannya ketika berjalan-jalan disuatu dusun. Katanya, suatu hari aku melihat seorang perempuan di suatu desa. Ia berpakaian merah menyala, semua kukunya dikenakan pacar dan tangannya menggenggam tasbih. Al Ashmu’i bergumam: Alangkah indahnya perempuan itu, hampir tidak ada ke keindahan yang melebihinya.
“Tidak dihalalkan bagi seorang istri memberikan makanan dari rumah suaminya kecuali mendapat izinnya. Kecuali berupa makanan basah (yang kadar airnya tinggi) yang dikhawatirkan busuk. Kalau seorang istri memberi makanan tanpa memperoleh izin suaminya, maka suaminya yang mendapat pahala dan ia sendiri mendapat dosa.” (Al-Hadis)