Ia menjawab: “Aku hendak menghadap Rasulullah SAW untuk mendapatkan pengajaran dari beliau.”
Balas pemuda: “Apakah dirimu cinta benar terhadap Rasulullah SAW?” Ia menjawab: “Ya, aku sangat mencintainya.”
Balas pemuda: “Kalau kamu benar-benar cinta kepada Rasulullah aku minta supaya engkau membuka cadarmu, agar aku bisa melihat wajahmu.”
Manakala anak muda itu bersumpah-sumpah demi kecintaan perempuan itu kepada Rasulullah SAW, maka perempuan itu tadi membuka cadarnya, anak muda itu dapat melihat dengan jelas wajahnya.
Setelah kembali dari pelajaran agama, perempuan itu tadi memberi tahu pada suaminya tentang peristiwa yang dialaminya bersama seorang pemuda, ketika suaminya mendengar penuturan cerita istrinya maka hatinya bimbang:
“Hal itu perlu diuji kebenarannya. Agar aku puas dan jelas persoalannya.”
Lalu suami perempuan itu membuat perapian yang sangat besar dimasukkan kedalam tungku. Tungku itu biasanya digunakan untuk memasak roti, yang menyerupai sebuah kentongan. Suami perempuan itu menunggu beberapa saat agar api membesar. Ketika jilatan api telah membesar maka suaminya berkata:
“Demi kebenaran Rasulullah SAW, masuklah kamu kedalam tungku itu!”
Begitu istrinya mendengar suaminya bersumpah yang meminta dirinya agar masuk kedalam tungku yang membara, tanpa ragu ia masuk kedalamnya. Ia tidak memperdulikan lagi nyawanya demi kecintaannya kepada Rasulullah SAW.
Manakala suami perempuan itu melihat istrinya benar-benar masuk kedalam tungku dan lenyap diselimuti jilatan api, timbullah penyesalan didalam hatinya. Ia menyadari bahwa apa yang dikatakan itu benar, maka suami perempuan itu tadi menghadap Rasulullah SAW. Ia menceritakan kejadian yang berlangsung, Rasulullah SAW bersabda:
“Kembalilah, bongkarlah tungku itu.”
Ia segera kembali dan membongkar tungku itu yang masih panas, ternyata dibalik tungku itu ia menemukan istrinya dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apapun. Hanya sekujur tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri, bagaikan orang yang sedang mandi air panas.
Wahai Allah, jadikanlah kebaikan kepada kami, keluarga kami, anak cucu kami dan segenap kaum muslimin. Segala puji bagi Mu ya Allah, Tuhan semesta alam. Segala puji bagi Allah, dzat yang telah menyempurnakan berbagai kebaikan dengan nikmat Nya, dan dengan anugerah Nya kita berbahagia memperoleh surga.
Sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, dan semoga terlimpahkan pula kapada keluarga, sahabat, dan istri-istrinya selama masih ada langit dan bumi.
Segala puji bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan daya dan kekuatan Allah Yang Maha Tinggi lagi Besar. Cukuplah Allah menjadi penolong kita dan memberi kenikmatan kepada kita. Amin.
Pengantar Pernikahan
Tema pernikahan atau membentuk rumah tangga islami adalah masalah yang selalu hangat dibicarakan dan bahkan harus dibicarakan!. Tentunya jangan hanya dibicarakan dan dipikirkan tapi dilaksanakan. Insya Allah.
Dalam Islam pernikahan itu mempunyai nilai yang sangat suci, agung dan sakral. Ijab kabul sebagai transaksi pernikahan merupakan ucapan yang ringan dilafalkan tapi berat sekali tanggung jawabnya. Allah sendiri menyebut ijab kabul itu sebagai ikatan yang kuat/kokoh (Mitsaqon Gholizho).
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa' Ayat 21)
Dalam Al-Qur'an Allah hanya dua kali menggunakan istilah perjanjian yang kuat ini, pertama untuk pernikahan dan kedua untuk perjanjian dengan bani Israil (Di masa Nabi Musa AS):
“Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: 'Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud', dan kami perintahkan (pula) kepada mereka: 'Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari sabtu', dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisa' Ayat 154)
Setelah Ijab Kabul terucapkan, maka konsekuensinya:
Halal lah apa yang tadinya haram. Jangankan berpegang-pegangan, saling pandang-pandangan saja sebelum menikah antara 2 jenis kelamin dilarang oleh Islam. Tapi setelah ijab kabul, maka lenyaplah tabir tersebut.
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
Terjadilah pemindahan tanggungjawab seorang wanita dari orang tua/wali ke suaminya. Sebelum menikah segala tanggungjawab seorang anak terletak dipundak ayahnya, setelah menikah maka kewajiban tersebut berpindah ke suami. Suami harus memenuhi segala kebutuhan lahir bathin istri. Suami yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak bagaimana ia mendidik istri dan anak-anaknya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Hakim: Manusia yang paling besar tanggungjawabnya kepada wanita ialah suaminya.
Keikhlasan seorang wanita dipimpin oleh suami dan taat pada suami.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Dari Abu Hurairah Ra, dari Rasulullah SAW beliau bersabda,
“Seandainya aku boleh menyuruh orang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku menyuruh seorang istri bersujud kepada suaminya.” (HR. Turmudzi)
Dari Ummu Salamah Ra Berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap istri yang meninggal dunia sedangkan suaminya meridhoinya, niscaya ia masuk surga.” (HR. Turmudzi)
Pernikahan dalam rangka membentuk rumah tangga yang islami merupakan basis penting dalam perjalanan pembangunan ummat. Rumah tanga merupakan organisasi terkecil yang bisa menjadi gambaran mikrokondisi sebuah masyarakat. Ia juga merupakan pijakan kedua setelah pembinaan individu muslim, dan wadah praktis untuk pengamalan-pengalaman syariat islam secara berkelompok dan terorganisasi.
Fungsi-fungsi dalam rumah tangga yang teratur dan terstruktur rapi disertai semangat amanah dan tanggungjawab masing-masing anggotanya akan menciptakan kondisi yang tentram dan diridhoi Allah SWT. Jika suami sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai ribatul bait (pengatur) rumah tangga menyadari amanat tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat, maka kecermelangan rumah tangga yang SAMARA (sakinah, mawaddah, rahmah) menjadi niscaya adanya.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Ruum Ayat 21)
Mawaddah dalam ayat diatas lebih berkonotasi ke fisik, tidak hanya masalah kecantikan istri, ketampanan suami, kemolekan tubuh, tapi juga menyangkut tingkat sosial, ekonomi, pendidikan dan peradaban. Karena Islam juga memandang faktor ke-sekufu-an (selevel) merupakan salah satu faktor kebahagiaan rumah tangga.
Semakin jauh perbedaan latar belakang kesekufuan ini akan sering terjadi culture schok yang dapat menimbulkan perselisihan/percekcokan. Tapi bukan berarti islam melarang pernikahan antar si kaya dengan si miskin. Dalam sejarah sahabat, hal ini terjadi pada kasus pernikahan sahabiyah Zainab dengan Zaid yang Allah abadikan didalam surat Al Ahzab Ayat 37.
“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan didalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al Ahzab Ayat 37)
Sedangkan Rahmah pada surat Ar Ruum Ayat 21 diatas, adalah faktor kasih sayang yang bersifat batiniyah, menyangkut kepahaman terhadap agama, keimanan, akhlak, selera dan ideologi. Dan faktor-faktor ini sangat penting.
Pilihlah yang utama berdasarkan agamanya. Seperti hadis yang telah kita sering dengar:
“Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari)
Bagaimana kita "menilai" calon pasangan agar bisa diketahui apakah pas secara mawaddah dan cocok secara rahmah?
Saat ini masih banyak muslim melakukan taaruf (perkenalan) dalam rangka penilaian calon pasangannya itu dengan cara budaya yang non islami: Yaitu Berpacaran, mungkin dengan pacaran akan diperoleh data-data yang diperlukan, tapi karena ini bukan dari Islam, maka harus dihindari, dan biasanya dalam masa berpacaran tersebut, yang ditampilkan oleh masing-masing adalah sifat yang baik-baiknya saja. Banyak kejadian (apalagi di Jerman) dua orang yang telah bertahun-tahun berpacaran, tapi setelah menikah beberapa saat kemudian bercerai dengan alasan tidak cocok. Jadi bagaimana yang islami?
Allah telah memberikan solusinya, dalam surat An-Nur Ayat 32.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur Ayat 32)
Ayat ini dikhususkan oleh orang-orang yang telah menikah. “Nikahkanlah..”, berarti disini Allah sedang berbicara kepada orang-orang yang telah menikah.
Dan mereka ini merupakan mediator untuk menciptakan media taaruf yang islami. Di masa tempo dulu, antar orang tua telah saling mempersiapkan diri untuk saling menjodohkan anak-anaknya. Pada zaman sekarang cara tersebut akan dianggap kolot, feodal dan menghalangi kebebasan.
Sebenarnya ketidak cocokan ini karena adanya kesenjangan pemahaman, bila pihak orang tua maupun anak ada keterbukaan, dan anak didik oleh orang tua dengan nilai-nilai islam sejak awal, maka anak akan percaya penuh terhadap pilihan orang tua. Selain orang tua, guru ngaji atau teman yang dapat dipercaya yang berakhlak baik dan sudah menikah dapat sebagai mediator.
Walaupun begitu Allah telah membuat katup pengaman sebagai tolak ukurnya,
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An Nuur Ayat 26)
Dalam ayat diatas Allah telah memilihkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki- laki yang baik, oleh sebab itu bagi yang ingin cepat menikah, maka harus meningkatkan terus nilai keimanannya agar mendapatkan sesuai dengan kualitas dirinya. Itu janji Allah.
Rumah Tangga Islami
Coba kita renungkan pertanyaan berikut, Rumah tangga macam apa yang akan kita bangun? Di bawah ini ada beberapa contoh rumah tangga yang ada disekitar kita,
Rumah Tangga “Bisnis” Pada awal dibinanya rumah tangga ini telah dihitung-hitung berapa keuntungan materi yang akan diperoleh, bila aku menikah dengan si fulan, berapa tabunganku akan bertambah saat menikah dan setelah menikah. Apa pasanganku nanti dapat menambah hartaku atau malah akan mengurangi. Dan bila kami nanti punya anak, berapa anak yang kira-kira dapat menguntungkan usaha yang kami jalankan saat ini dan seterusnya. Rumah tangga seperti ini banyak sekali ditemukan di negara Barat yang hanya berfikir pada materi. Allah telah berfirman:
“Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba Ayat 37)
Rumah Tanga “Barak” Yang terdengar dari rumah tangga ini hanya perintah-perintah atau komando-komando layaknya jendral kepada kopralnya. Bila si kopral tidak melaksanakan atau lalai menjalankan tugas, maka konsekuensinya adalah hukuman, baik berupa umpatan atau bahkan pukulan. Disini tidak ada suasana dialogis yang mesra, anggota keluarga yang berperan sebagai kopral, selalu merasa tertekan dan takut bila ada sang jendral di rumah, dan selalu berdoa dan berharap agar sang jendral segera berlalu keluar rumah.
Rumah Tanga “Arena Tinju” Bila suami dan istri merasa memiliki derajat, kekuatan dan posisi yang setara serta pendapatnya lah yang benar dan harus terlaksana. Bila ada perbedaan dan salah paham sedikit saja, maka digelarlah "pertandingan" yang dapat berupa, baku cekcok atau baku hantam. Masing-masing berusaha membuat KO lawannya dengan berbagai taktik. Tidak ada kata damai sebelum salah satunya menyerah.
Rumah Tanga “Islami” Didalamnya ditegakkan adab-adab islam, baik individu maupun seluruh anggota. Mereka berkumpul dan mencintai karena Allah, saling menasehati kejalan yang maruf dan mencegah dari kemunkaran. Setiap anggota betah tinggal didalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan rohani. Rumah tangga yang menjadi panutan dan dambaan umat yang didalamnya selalu ditemukan suasana sakinah, mawaddah dan rahmah. Merupakan surga dunia, seperti yang sering kita dengar, Rasul pernah bersabda: Baiti jannati! Rumahku adalah surgaku. Rumah yang dimaksud disini tentunya bukan bangunan fisiknya yang bak istana dengan taman yang luas dan kolam renangnya, tapi rumah disini adalah rumah tangga "roh" dari rumah tersebut.
Ciri-ciri Rumah Tangga Islami
Didirikan Atas Dasar Ibadah Rumah tangga didirikan dalam rangka ibadah kepada Allah, dari proses pemilihan jodoh, pernikahan (akad nikah, walimah) sampai membina rumah tangga jauh dari unsur kemaksiatan atau yang tidak islami.
Sebagaimana tugas kita di muka bumi ini yang hanya untuk mengabdi/beribadah kepada Allah, maka pernikahan ini pun harus diniatkan dalam rangka tersebut. Beberapa contoh yang tidak islami, pemilihan jodoh tidak berdasarkan Diennya (agamanya), Proses berpacaran, pemilihan hari "baik" untuk acara pernikahan, sebelum akad nikah ada acara widodareni atau mandi air kembang dan dalam acara walimahan ada upacara (adat) injak telur dan buang-buang beras.
(Menyeluruh) Terjadi Internalisasi Nilai Islam Secara Kaffah Dalam rumah tangga islami segala adab-adab islam dipelajari dan dipraktekan sebagai filter bagi penyakit moral di era globalisasi ini. Suami bertanggungjawab terhadap perkembangan pengetahuan keislaman dari istri, dan bersama-sama menyusun program bagi pendidikan anak-anaknya. Saling tolong-menolong dan saling mengingatkan untuk meningkatkan kepahaman dan praktek ibadah. Oleh sebab itu suami dan istri seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang islam.
Terdapat Qudwah (Keteladanan) Suami Istri Yang Dapat Dicontoh Oleh Anak-anak Setiap hendak keluar atau masuk rumah anggota keluarga membiasakan mengucapkan salam dan mencium tangan, merupakan contoh yang akan membekas pada anak-anak sehingga mereka tidak canggung mengucapkan salam ketika telah dewasa. Bagaimana mungkin anak akan menegakkan sholat diawal waktu, sementara orang tuanya asik melihat TV pada saat azan berkumandang (ini contoh yang buruk).
Keluarga islami merupakan contoh teladan di lingkungannya, selalu nilai-nilai positif saja yang terlontar dari para tetangganya bila membicarakan rumah tangga ini. Hal ini bisa terjadi bila adanya contoh-contoh yang islami dilakukan serta silaturahmi ke tetangga yang intensif.
Adanya Pembagian Tugas Yang Sesuai Dengan Syariat Islam memberikan hak dan kewajiban masing-masing bagi anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Seperti yang tercantumkan dalam Firman Allah:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisaa’ Ayat 32)
Suami atau istri harus paham apa kewajiban dan haknya, sehingga tidak terjadi pertengkaran karena masing-masing hanya menuntut haknya terpenuhi tanpa melakukan kewajibannya. Islam telah mengatur keseimbangan hak dan kewajiban ini, apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri, dan begitu pula sebaliknya. Kewajiban suami tidak bisa dilakukan secara optimal oleh istri, begitu pula sebaliknya.
Tercukupnya Kebutuhan Materi Secara Wajar Suami harus membiayai kelangsungan kebutuhan materi keluarganya, karena itu salah satu tugas utamanya. Seperti yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqarah 233,
“...... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.”
Menghindari Hal-hal Yang Tidak Islami Banyak kegiatan atau barang-barang yang tidak islami harus disingkirkan dari dalam rumah, misalnya penghormatan kepada benda-benda keramat, memajang patung-patung, memasukkan ke rumah majalah/koran/Video atau saluran internet dan TV (ini yang susah) yang tidak islami, bergambar mesum dan adegan kekerasan, memperdengarkan lagu-lagu yang tidak menambah keimanan.
Berperan Dalam Pembinaan Masyarakat Keluarga islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi perbaikan masyarakat sekitarnya,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl Ayat 125)
Kita tidak bisa hidup sendirian terpisah dari masyarakat. Betapapun taatnya keluarga tersebut terhadap norma-norma ilahiyah, apabila sekitar lingkungannya tidak mendukung, pelarutan nilai akan lebih mudah terjadi, terutama pada anak-anak. Oleh sebab itu setiap anggota keluarga islami diharuskan memiliki semangat berdawah yang tinggi, sesuai dengan profesi utama setiap muslim adalah dai.
Suami harus dapat mengatur waktu yang seimbang untuk Allah SWT (ibadah), untuk keluarga (mendidik keluarga serta bercengkrama bersama istri dan anak-anak), waktu untuk umat (mengisi ceramah, mendatangi pengajian, menjadi pengurus masjid, panitia kegiatan keislaman) dan waktu mencari nafkah. Begitu pula dengan istri harus diberi kesempatan untuk bekiprah di jalan dawah ini memperbaiki muslimah disekitarnya.
Bila pemahaman keislaman antara suami dan istri sekufu, maka tenaga untuk melakukan manuver dawah keluar akan lebih banyak, karena suami tidak perlu menyediakan waktu yang terlalu banyak untuk mengajari istrinya. Begitu pula istri mendukung dan memperlancar tugas suami dengan ikhlas.
“Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.'” (QS. Al Furqaan Ayat 74)